GAYATREND.com – Banyak masyarakat yang mengalami kenaikan berat badan selama pandemi, karena kurangnya aktivitas dan kebiasaan memesan makanan cepat saji. Menanggapi hal tersebut Ahli Gizi RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon, Lili Sulistyawati menjelaskan, obesitas merupakan suatu kondisi medis yang digambarkan sebagai kelebihan berat badan dalam bentuk lemak. Kondisi lemak yang terakumulasi tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Lili Sulistyawati menjelaskan, ada dua istilah yang mengambarkan kelebihan berat badan berdasarkan WHO yakni Overweight dan Obesitas. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai dari Indeks Massa Tubuh atau IMT. WHO mengklasifikasikan Overweight dengan nilai IMT ≥ 25 dan Obesitas ≥ 30. Sedangkan menurut ahli di Asia Pasifik kriteria Overweight nilai IMT 23 – 24,9 Pre Obesitas 25-29,9 dan Obesitas ≥ 30. Jika faktor utama obesitas adalah asupan makan. Antara yang masuk dan apa yang digunakan tidak seimbang.
“Kalau kita suka makan yang banyak, punya kebiasaan makannya banyak otomatis harusnya diseimbangkan dengan aktivitas yang juga banyak,” katanya.
Ia mengatakan jika obesitas tidak terjadi dalam waktu singkat. Misalnya hari ini kelebihan 1.000 kalori, dan keesokan harinya kelaparan atau puasa, maka tidak menyebabkan obesitas. Namun jika timbunan kalori atau makanan yang berlebihan berlangsung lama dan terus menerus, maka dapat menyebabkan obesitas.
“Anjurannya pola makan, tata laksananya, jadi perilaku hidup sehat untuk makannya, aktivitas fisiknya, perilakunya yang dimodifikasi tetapi secara berkelanjutan. Cara memilih jenis makanan juga perlu diperhatikan. Seimbangkan asupan karbohidrat, protein, lemak, serat dan lainnya,” jelasnya.
Sementara itu, Psikolog RSD Gunung jati Cirebon, Srini Piyanti mengatakan tidak serta merta karena pandemi menjadi obesitas, itu hanya salah satu faktor. Karena rasa khawatir imun menurun, sehingga mengonsumsi banyak makanan, tapi tidak disertai dengan aktivitas fisik yang berimbang.
Pola kebiasaan hidup sehat dapat diatur, namun banyak orang yang mengikuti kebiasaan hidup orang lain tanpa menimbang bahwa reaksi orang per orang dapat berbeda.
“Merubah pola kebiasaan sebetulnya dapat diatur, biasanya orang latah melihat kebiasaan sekitar, jadi diikuti tanpa menimbang bahwa sering kali aktivitas yang sama orang per orang berbeda reaksinya di dalam tubuh,” jelasnya.
Srini Piyanti mengatakan bahwa beberapa masyarakat melarikan emosi-emosi yang tidak terekspresi, ke arah pola makan berlebihan. “Meluapkan emosi, secara benar itu bukanlah hal yang mudah. Banyak diantara kita melarikan emosi-emosi yang tidak terekspresi itu, ke arah pola makan, jadi makan berlebihan dan sebagainya,” pungkasnya.